Rabu, 10 Juli 2013

Fungsi Sungai Brantas Pada Masa Majapahit (2)


Tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasa-ri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui Muara Kali Mas/sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit( marwati. 1984: 426).
Lokasi penting dalam melacak jalan menuju kota Majapahit pada abad ke-14. Desa Mentoro di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, ini terletak di sebelah barat laut situs bekas kota Majapahit di Trowulan, Mojokerto, dengan jarak sekitar 10 kilometer. Pandangan langsung terpaku pada sebuah patok batu di tepi jalan desa, tepat di depan rumah keluarga Emha Ainun Nadjib. "Patok batu ini bekas tambatan perahu Majapahit," tutur seorang penduduk. Pada salah satu sisi patok setinggi 127 cm itu terpahat tulisan Jawa kuno yang belum terbaca. Bentuk patok pada bagian bawah berdenah segi empat, sedangkan bagian atas segi delapan. Bentuk patok ini berbeda dengan lingga semu yang juga ditemukan di Mentoro, tepatnya di Kuburan Dowo. Lingga semu berbentuk segi empat di bagian bawah dan bulat di bagian atas. Informasi pun berkembang. Sekitar 100 meter di sebelah barat patok batu ditemukan lagi patok sejenis di tepi jalan. Menurut penduduk, dulunya patok kedua itu berada di tengah jalan desa, tetapi patok telah patah ditabrak pedati saat pengerasan jalan desa. Sebuah patok lagi dijumpai di halaman rumah penduduk sehingga sedikitnya terdapat tiga patok batu di Mentoro.

Melihat letaknya, Mentoro dahulu masuk daerah pinggiran kota Majapahit yang memiliki akses ke Sungai Brantas di bagian utara. Menurut cerita penduduk, dulu Mentoro adalah hutan belantara yang menjadi jalan penghubung antara Kerajaan Majapahit dan Kota Daha (Kadiri). Mentoro dipercaya pula sebagai tempat pesanggrahan putra-putri kerajaan pada masa itu.  Pada bagian timur laut, tenggara, dan barat daya dari situs bekas kota Majapahit, terdapat kompleks bangunan suci bersifat Hindu. Setiap kompleks bangunan di penjuru mata angin itu ditempatkan sebuah yoni kerajaan dengan cerat berhias rajanaga.


                              

            Gambar 2. Peta DAS Sungai Brantas masa Majapahit

Kompleks bangunan suci di bagian timur laut diidentifikasi adalah situs Klinterejo (Kecamatan Sooko, Mojokerto), di tenggara situs Lebakjabung (Kecamatan Jatirejo, Mojokerto), sedangkan di bagian barat daya adalah situs Sedah (Kecamatan Mojowarno, Jombang). Jarak antara situs Klinterejo dan situs Lebakjabung di bagian selatannya adalah 11 kilometer, sedangkan jarak dari situs Lebakjabung ke situs Sedah di bagian baratnya adalah 9 kilometer. Berdasarkan jarak antarsitus tersebut diperkirakan batas situs kota Majapahit 11 x 9 kilometer, tanpa dibatasi tembok keliling. Berdasarkan jarak itu pula, kompleks bangunan di bagian barat laut diperkirakan terdapat di wilayah Kecamatan Sumobito, Jombang, tepatnya di Dusun Tugu dan Dusun Badas (Kompas, 2 Mei 2005). Di lokasi ini tersebar beberapa struktur bata, sebuah yoni polos, batu-batu candi, lumpang batu, dan dua patok batu, sejenis dengan patok-patok di Mentoro. Lokasi Mentoro di sebelah utara Dusun Tugu dipisahkan oleh sudetan Sungai Konto yang dibuat Belanda pada tahun 1914. Apabila cerita penduduk Mentoro benar bahwa patok-patok batu itu dulunya tambatan perahu Majapahit, hal itu membuat arkeolog harus berpikir yang sama terhadap patok-patok batu di situs Tugu. Sebaran patok batu dari Mentoro ke Tugu memanjang utara-selatan, membentuk imajinasi patok-patok itu diletakkan pada kedua sisi sungai yang relatif lebar. Sungai yang memanjang utara-selatan dan bertemu dengan Sungai Brantas bila dirunut ke utara. Imajinasi itulah yang menggerakkan penggalian arkeologis di Mentoro pada tahun 2005 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan ketua tim Nurhadi Rangkuti. Selain mencari sungai yang hilang, penggalian juga bertujuan untuk mengetahui permukiman kuno di tepi sungai.
Hasil penggalian mengubah imajinasi menjadi kenyataan. Penggalian di dekat patok batu di depan rumah keluarga Emha dipenuhi oleh pasir dan kerang sungai dan kotak gali mengeluarkan air pada kedalaman satu meter, padahal sedang musim kemarau. Beberapa kotak gali lainnya juga membuktikan hal yang sama. Beberapa penduduk pun lalu berbagi cerita, sering mendengar suara air dari bawah lantai rumah mereka. Sisa-sisa permukiman kuno di tepi sungai juga berhasil ditemukan dalam penggalian. Sebuah tempat lebih tinggi, yang oleh penduduk disebut Kagenengan, digali dan menghasilkan lebih dari 1.500 fragmen tembikar dan keramik dari dalam tanah. Selain itu ditemukan pula mata uang logam China, fragmen besi, dan tulang serta gigi hewan jenis bovidae. Bentuk dan kualitas benda-benda tembikar dan keramik di lokasi ini tidak berbeda dengan temuan-temuan dari situs Trowulan. Diperkirakan Kagenengan pernah dihuni oleh komunitas yang bukan dari golongan rakyat biasa, pada sekitar abad ke-13 hingga abad ke-15. Sungai lama dan sisa permukiman kuno telah berhasil ditemukan, tetapi di antara anggota tim masih terjadi silang pendapat mengenai keberadaan patok batu. Apakah patok batu dulu memang berfungsi sebagai tambatan perahu atau sebagai tugu batas suatu wilayah atau desa pada masa Majapahit.
Lokasi Mentoro dan Tugu memang sangat strategis jika dikaitkan dengan Sungai Brantas dan jalan masuk kota Majapahit dari arah barat laut. Kedua tempat itu menjadi titik simpul jalan darat dan sungai menuju kota Majapahit. isi naskah Kidung Wargasari, yang menggambarkan rute dari Wewetih sampai ke Majapahit melalui Jirah, Bletik, Kamal Pandak, dan Sagada. Menurut Hadi, rute yang digambarkan dalam kidung tersebut dapat dilacak dari barat ke timur melalui Kabupaten Jombang. mengidentifikasi Sagada adalah Segodorejo yang terletak di Kecamatan Sumobito. Lokasi situs Segodorejo berada di sebelah timur Tugu dengan jarak sekitar satu kilometer. Di situs ini dijumpai tinggalan arkeologis berupa lumpang batu dan pecahan-pecahan bata. Sungai Brantas memang tidak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Majapahit. Sungai ini memiliki andil dalam mengembangkan ekonomi Majapahit, sampai-sampai Raja Hayam Wuruk pun menerbitkan sebuah prasasti berangka tahun 1358 tentang desa-desa penyeberangan dan pelabuhan sungai di sepanjang Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Dalam prasasti itu tercatat 33 desa penyeberangan di tepi Bengawan Solo dan 44 desa di tepi Brantas. Dengan mempertimbangkan keberadaan Mentoro dan Tugu pada masa Majapahit, perjalanan menuju kota Majapahit dari Sungai Brantas dapat direkonstruksi. Setelah melayari Sungai Brantas, kemudian perahu memasuki Sungai Watudakon terus ke selatan melewati Mentoro, Tugu, dan Badas. Selanjutnya, dari Badas menuju kota Majapahit ditempuh dengan transportasi darat melalui Sagada (Segodorejo) dan akhirnya masuk kota Majapahit yang letaknya di Trowulan sekarang.

2 komentar: