SEJARAH DAN TEORI SOSIAL (PETER BURKE)
Resume dari
Mohamad Lukman Hakim S. Hum
MAGISTER ILMU SEJARAH
FAKUTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
Bab I Teori dan Sejarawan
Pemahaman terhadap teori bagi sejarawan masih ada 2 pandangan yakni
pertama ada anggapan bahwa teori sebagai pemecah permasalahn yang sering
ditemui oleh sejarawan yang dalam metodolgi sejarah belum ada, dan yang kedua
teori masih dianggap aneh dan menentang teori dalam sejarah. Perbadaan pandangan
terhadap penggunaan teori dalam
sejarah menyebabkan kesalahpaham
antara sejarawan ddan pakar-pakar ilmu lain. seperti sejarawan dan sosiologiwan
yang sering tidak sepaham walaupun sama-sama meneliti pola yang ada di
masyarakat. Sosiologi melihat struktur masyarakat dan perkembangannya,
sedangkan sejarah melihat perubahan masyarakat dari waktu ke waktu. Dari kedua
disiplin ilmu ini saling membicarakan kelemahan, sejarawan melihat bahwa
sosiologiwan hanya terpaku hal-hal yang abstrak dan tidak memiliki sense waktu
dan tempat membenakan individu ke dalam kategori-kategori yang kaku. Sedang
sosiologiwan membeicarakan sejarah
sebagai tukang kumpul fakta amatiran yang rabun, yang tidak mempunya
sistem, metode dan tidak akuratnya data sehingga dicocokan dengan ketidak
mampuan menganalisisnya. Sebenarnya kedua disiplin ilmu bisa saling melengkapi
satu sama lain.
Pada abad ke-18 tidak
perselisihan antara sosiologiwan dan sejarawan karena sosiologi pada saat itu
belum menjadi disiplin ilmu tersendiri. Seratus
tahun kemudian hubungan sejarah dengan teori sosial kurang harmonis
sehingga sejarawan menjauh tidak hanya dari teori sosial tetapi juga dari
sejarah sosial. Leopold Van ranke memang
tidak menolak mentah-mentah sejarah sosial, akan tetapi karyanya pada umumnya kurang tertarik pada sejarah
sosial. Sejarah sosial ditinggalkan karena pertama negara Eropa apada abad ke
19 menjadikan sejarah bangsa sebagai alat propaganda kaum nasionlis sehingga
sejarah politik kembali dominan. Kedua kembalinya sejarawan ke sejarah politik
bersifat politik. Ranke melakukan revolusi sejarah terutama terkait sumber dan
metode yakni dari penggunaan kronik ke
penggunaan arsip resmi pemeritah. Revolusi rangke ini membawa efek yang tak
terduga, tetapi amat penting, karena pendekatan dokumen yang baru berfungsi
baik bagi penulisan sejarah politik yang tradisional.
Para teoretisi sangat menaruh perhatian terhadap masa lau tetapi
tidak begitu menghargai sejarawan. Comte misalnya, mencaci maki sejarah sebagai
hal yang tidak penting karena kekanak-kanakan, rasa ingin tahu yang tidak
rasional. Specer malah mengatakan sosiologi lebih tinggi dari pada sejarah,
sejarawan hanya dianggap sebagai pengumpul bahan mentah sosiologi. Selain itu
Specer berkata “Biografi raja-raja tidak ada sumbangannya terhadap kemajuan
ilmu tetang masyarakat (Sedikit yang bisa dipelajari oleh anak-anak). Hal
berbeda menurut Durkheim dan Weber mengenai sejarah. Durkheim yang berjuang keras menjadikan sosiologi
sebagai disiplin ilmu baru dengan cara membedakannya dari ilmu sejarah,
filsafat, dan psikologi sehingg dia perlu belajar sejarah kepada Fustel de
Coulanges. Max Weber pengetahuannya sangat luas tentang sejarah. Ketika dia
tercurah pada teori sosial kajian tentang sejarah tidak ditinggalkan. Dia bisa
mendapat bahan dari sejarah dan dari sejarawan dia mendapatkan konsep-konsep.
Weber tidak menganggap dirinya sosiologiwan, ketika menjadi ketua jurusan
sosiologi di Munich dia berkata “menurut
surat pengangkatan, saya sekarang kebetulan ahli sosiologi”. Dia sendiri
menganggap dirinya seorang ahli ekonomi politik atau sejarawan komparatif.
Pada akhir abad ke-19, sejumlah sejarawan profesional kecewa dengan
sejarah aliran Neo-Ranke. Salah satu pengkritik adalah Karl Lamprecht, yang
mengecam sejarawan Jerman terlalu menitik beratkan pada sejarah politik dan
orang-orang terkenal. Dia menamakanya sejarah kolektif yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu
seperti pendekatan psikologi sosial. Usaha Lamprecht untuk mengakhiri sejarh
politik gagal karena kebanyakan sejawan
jerman belum meninggalakan paradigma Ranke. Di Amerika sejarah sosial mendapat
tanggapan baik, sejarawan Amerika Serikat melancarkan kecaman terhadap sejarah
tradisional, sama seperti Lamprecht dia mengatakan bahwa semua kegiatan manusia
harus diperhatikan. Tidak ada bagian kehidupan sosial dapat dipahami secara
terpisah dari yang lainnya. Di Perancis ada Marc Bloch dan Febvre yang
menentang dominasi sejarah politik. Ambisi mereka menggantikan sejarah politik
ke sejarah yang lebih manusiawi dan lebih luas, suatu sejarah yang membahas hal
yang lebih luas dibandingkan analis struktur. Pada zaman sekarang di era tidak
tegasnya garis-garis demarkarsi dan terbuaknya batas ranah intelektual, suatu
zaman yang mangasyikkan sekaligus membingungkan.
Bab 2 Model dan Metode
Pada bab membahas tentang komparasi (perbandingan), kegunaan model,
metode kuantatif dan pengunaan ‘Mikroskop’ sosial. Komparatif selalu berada
pada posisi sentral dalam teori sosial. Durkheim membedakan komparatih menjadi
dua, pertama membandingkan masyarakat-masyarakat yang secara mendasar sama
strukturnya. Kedua, membandingkan masyarakat-masyarakat yang secara mendasar
berbeda. Sejarawan cenderung menolak komparasi
dengan alasan mereka hanya mengamati hal-hal yang khusus dan tidak bisa diulang.
Max weber pad tahun 1914 menyampaikan pada Georg Von Below “Kita setuju
sepenuhnya bahwa sejarah mesti menegakkan hal-hal spesifik misalnya, pada
kota-kota abad pertengahan. Namun hal
itu hanya mungkin jika kita dapat mengetahui hal-hal yang tidak ditemukan di
kota-kota lain. Kita Cuma bisa berterima kasih kepada metode yang komparasi
yang membuat kita bisa melihat apa yang tidak ada, dengan kata lain memahami
sidnifikasi hal-hal tertentu yang tidak ada”. Diantara sejarawan pertama yang
mengikuti jejaj Durkheim dan Weber adalah March Bloch dalam karyanya Feudal
Society (1938-1940) Eropa abad
pertengahan, tetapi di dalam terdapat satu bagian tentan Jepang. Tulissan ini
selain mencatat kemiripan kedudukan para Ksatria dengan para Samurai,
menekankan pula perbedaan antara kewajiban sepihak seseorang Samurai pada
majikannya dari kewajiban sepihak antra tuan dan hambanya di Eropa, di mana
seseorang hamba berhak melawan apabila tuan tidak menepati kewajiban. Inti
metode komparatif adalah terletak pada pengidentifikasian tahapan yang telah
dicapai oleh suatu masyrakat tertentu, yakni dengan menentukan posisinya pada urutan tahapan evolusi.
Metode
kuantitatif relatif baru dan
kontrovesi ialah pandangan bahwa metode
kuantitatif dapat digunakan untuk mengkaji perilaku manusia dan bahkan sikap.
Ada banyak macam metode kuantitatif, yang dianggap cocok bagi kebutuhan
sejarawan analisis serial, yang menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu
seperti perubahan gandum, perolehan suatu partai dalam pemilu, jumlah penduduk
dari tahun ke tahun inilah uang disebur orang Perancis sejarah serial (Histoire
Serielle). Metode-metode kuantitatif lain lebih kompleks misalnya metode
yang di kenal dengan sejarah ekonomi baru yang menekankan pada pengukuran kinerja
ekonomi secara keseluruhan, yakni menghitung produk Nasional Bruto masa lalu.
Tanpa metode kuantitatif sejarah jenis-jenis lain tidak akan mungkin, terutama tentang pengkajian
pergerakan harga dan jumlah penduduk.
Keseulitan terbesar yang dihadapi pemakai metode kuantitatif adalah
pembedaan antara data keras, yang bisa diukur dan data lunak yang tidak bisa
diukur. Data lunak bisanya lebih berharga dari pada data keras.
Mikroskop sosial ialah melihat sejarah sosial dari yang terkecil
dan mendetail. Mikroskop sosial bisa menfokuskan pada satu individu, satu
kejadian atau satu masyarakat kecil
sebagai objek khusus kajian yang dari
sana diamati ketidakselarasan sistem sosiala atau sistem budaya besarnya, celah-celah, keretakan-keretakan
pada struktur yang memeberikan sedikit ruang
bebas pada individu, seumpama tanaman yang tumbuh di selah dua batu karang. Seperti sejarah
jepang yang terkenal yaitu 47 Ronin dia wal abad ke-18, dua bangsawan
bertengkar di istana Shogun. Asano merasa dihina lalu menghunus pedang
dan melukai lawanya Kira. Sebagai hukumannya atas perbuatan menghunus pedang di
hadapan Shogun, Asano harus melakukan bunuh diri sesuai aturan yang
berlaku, sehingga bawahanya tidak memiliki tuan dan menjadi 47 Ronin.
Para bawahan Asano ini memutuskan menuntut balas atas kematian tuannya. Setelah
sekian lama akhirnya 47 Ronin berhasil menuntut balas dan menyerah
kepada pemerintah. Pemerintah mengahadapi dilema, mereka melanggar hukum disisi
lain mereka justru menunaikan apa yang ada di hukum informal kalangan Samurai,
yang mana kesetian terhadap yuanya adalah nilai paling luhur dan aturan ini
didukung oleh pemerinthan Shogun. Jalan keluar dari dilema itu adalah
meraka diperintahakan melakukan bunuh diri seperti yang dilakukan tuannya dan
kesetian mereka dihormati. Daya tarik sejarah ini adalah bagi orang Jepang naik
masa itu atau masa setelahnya adalah konflik laten di antara norma-norma sosial
yang fundamental. Kisah itu menceritakan tentang suatu yang penting mengenai
budaya Tokugawa. Jika gerakan mikro harus menhidari hukum ‘the law of
deminishing returns’ (makin banyak yang didapat, makin rendah tingkat
kepuasan) maka para praktisi sejarah mikro harus lebih banyak mengkaji budaya
yang lebih puas dan kecederungan sejarah makro.
Bab 3 Konsep-konsep Pokok
Konsep pokok dalam sejarah sebagai peralatan koseptual yang telah
atau mungkin akan dipakai oleh sejarawan, atau setidaknya konsep-konsep yang
penting saja. Meskipun kosep-konsep ini masih berguana, namun belum cukup maka
sejarawan perlu mempelajari bahasa-bahasa
yang digunakan dalam teori sosial. Salah satu konsep sosiologi paling
sentral adalag peranan sosial, yang men definisikan
dalam pola-pola atau norma perilaku yang diharapkan dari orang yang menduduki
suatu posisi tertentu dalam struktur sosial. Pada kebanyakan masyarakat, mulai
dari zaman Yunani kuna sampai zaman Inggris di masa kekuasan Elizabeth, orang-orang
yang hidup pada zamannya mengerti betul akan peranan sosial. Mereka menganggap
dunia ini panggung/tempat setiap orang memainkan banyak peranan dalam hidupnya.
Namun dalam teoritisi sosial mengembangkan pandangan itu lebih jauh, tokohnya
adalah Erving Goffman yang terkagum-kagum pada apa yang dinamakan “Dramaturgi”
kehidupan sehari. Goffman mengaitkan konsep peranan dengan konsep-konsep
penampilan wajah, daerah depan, daerah belakang, dan ruang personal untuk
menganalisis presentasi diri atau menjelaskan kesan.
Membahas antara laki-laki dan perempuan
sebagai contoh pembagian antara dua peranan sosial, tampak jelas persoalan
kemaskulinan dan kefeminiman itu diciptakan secara sosial, perubahan pandangan
ini sebagian besar adalah hasil perjuangan gerakan kaum perempuan. Secara tidak
langsung feminisme telah menyumbang penulisan sejarah, sama seperti penulisan
kalangan bawah. Sejarah perempuan memberikan perspektif baru tentang masa
lampau, yang sampai sekarang kosekuensinya belum dipikirkan secara mendalam.
Sebagai akibat dari perspektif baru ini adalah dipersoalkanya skema-skema
periodisasi yang telah mapan. Periode-periode pada sejarah demografi yang
disusun tanpa mempertimbangkan perempuan. Perempuan nyaris tidak tampak oleh
sejarahwan dalam arti pentingnya pekerjaan sehari-hari, pengaruh politik mereka
(pada semua tingkatan politik), sejarwan lebih sering membahas mobilitas umum
dari sudut pandang laki-laki saja atau perempuan diberangus dalam mengeluarkan
gagasan dan hanya dapat melalui bahasa laki-laki. Gerakan perempuan dan
teori-teori yang terkait dengan itu telah mendorong baik sejarawan perempuan
maupun laki-laki mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru tentang massa lalu.
Proses kontruksi gender secara sosial atau kulutral juga merupakan objek kajian
kesejarahan. Begitu juga dengan pnedekatan terhadap seks, berkat adanya
konseptualisasi ulang yang berani oleh Michael Foucault yang menyatakan bahwa
homoseksualitas dan tentunya seksualitas adalah temuan modern.
Keluarga dan
kekerabatan, contoh paling jelas lembaga yang terdiri dari sekumpulan peranan
yang saling tergantung dan saling melengkapi. Sejarah keluarga merupakan kajian
yang berkembang paling cepat. Pendekatan rumah tangga ini tepat dan relatif
mudah untuk didokumentasiakan, berkat arsip-arsip sensus yang masih ada.
Tetapi, pendekatan ini memang ada bahayanya yaitu pertama perbedaan keluarga
majemuk, keluarga besar dan keluarga kecil. Kedua penggunaan jumlah anggota dan
komposisi rumah tangga sebagai indeks struktur keluarga menghdapkan kepada
masalah data keras dan data lunak. yang terpenting semua itu adalah rumah
tangga merupakan sebuah kelompok yang menjadi acuan identitas anggotanya dan
sebagai wadah keterlibatan emosional mereka. Keberagaman ini menimbulkan
masalah, sebab belum tentu fungsi-fungsi ekonomi, emosional, tempat tinggal,
dan sebagainya itu berjalan seiring. Indeks yang berdasarkan pada berdampingng
tempat tinggal mngkin tidak memberikan informasi yang sangat kita butuhkan
untuk mengetahui struktur keluarga.
Seperti di atas
digamabarkan keluarga sebagai komunitas moral, konsep komunitas telah mulai
memainkan peranan penting dalam penukisan sejarah pada beberapa tahun terakhir.
Tantangan bagi ahli sejarah kota adalah bagaimana mereka mengkaji terciptanya,
bertahannya, dan hancurnya komunitas-komunitas tersebut. Antropologiwan Victor Turner, yang
mengembangkan gagasan Durkheim tentang pentingnya acra-acara “Pesta buih
kreatif” bagi pembaharuan sosial, menciptakan istilah communitas untuk
menyebutkan solidaritas sosial yang spontan dan tidak terstruktur. Solidaritas ini tentu bersifat sementara
karena suatu kelompok informal sering bubar secara perlahan-lahan atau melebur
ke dalam institusi formal. Walaupun begitu komunitas bisa dapat hidup kembali
sewaktu-waktu di dalam institusi, berkat ritual dan acara-acra lain atas apa
yang dinamakan pembentukan komunitas secara simbolik.
Istilah lain dari ritual-ritual ini adalah “identitas” kolektif,
sebuah konsep yang semakin dikenal luas dalam disiplin ilmu . apakah identitas
itu tunggal atau jamak? Apa sesungguhnya yang membentuk identitas nasional
khususnya telah mendorong munculnya sejumlah karya terbaru yang hebat.
Pengkajian mengenai perwujudan identitas tersebut dalam bentuk lagu kebangsaan,
bendera negara, dan upacara –upacara. Misalnya
hari Bastile (nama benteng di Perancis didirikan pada abad 14, di
runtuhkan pada 14 Juli 1789) tidak lagi
dipandang rendah sebagai suatu yang kuno. Kekuatan ingatan, kekuatan imajinasi,
dan kukuatan simbol – khususnya bahasa dalam membentuk suatu komunitas kini
semakin diakui. Cara mendifinisikan identitas suatu kelompok dengan
membandingkan atau mengtraskan dang identitas kelompok lain misalnya Protestan
dengan Katholik, laki-laki dengan perempuan. Kita juga tidak dapat
mengasumsikan bahwa setiap kelompok dipersatukan oleh solidaritas: komunitas
harus dibentuk dan dibangun ulang , tidak juga dapat diasumsikan bahwa
komunitas itu berperilaku seragam atau bebas dai konflik, perjuangan kelas
umpamanya.
Kelas/stratifikasi sosial adalah pokok bahasan yang sering membuat
sejarawan tergoda untuk menggunakan istilah-istilah teknis seperti kasta,
mobilitas sosial dan sebagainya, tanpa menyadari persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan istilah tersebut atau tanpa mengetahui perbedaan-perbedaan
yang menurut para teoritisi sosial tidak
boleh diabaikan. Tanpa mengunakan model,
akan sulit untuk menggambarkan prinsip-prinsip
apa yang menentukan sistem ditribusi serta hubngan sosial. Model
struktur yang dikenalkan Karl Marx meskipun pada kenyataannya bab tentang kelas
dalam buku capital-nya tidak lebih dari beberapa baris saja, yang
ditutup dengan cacatan editorial. Bagi Marx kelas adalah suatu kelompok sosial
yang memiliki fungsi tertentu dalam proses produksi. Pemilik tanah, pemilik
modaldan pekerja yang tidak memiliki apapun selain dua tanganya adalah tiga kelas sosial besar,
yang sejajar dengan tiga faktor produksi
dalam ilmu klasik, yakni tanah tenaga kerja, dan modal. Perbedaan fungsi
dari kelas-kelas ini menimbulkan pertentangn kepentinagn yang memungkinkan
berbedanya pikiran dan tindakan mereka. Jadi, sejarah adalah cerita tentang
pertentangan kelas.
Max Weber “kelas” yang didefinisikan adalah kelompok oran\g yang
peluang hidupnya ditentukan oleh situasi pasar, dibedakan dari status atau
kelompok status yang nasibnya ditentukan
oleh status atau kehormatan yang disandangnnya. Predikat kelompok status ini
biasanya melekat sejak lahir dan dikukuhkan secara resmi, namun predikat
tersebut tercemin dalam gaya hidup. Jika definisi Karl Max tentang kelas adalah
dalam pengertian produksi, definisi Weber tentang estate (kelompok
sosial) boleh dikatakan tentang konsumsi.
Perdebatan antara Marx dan Weber memang rumit sebab ke dua orang ini
berusaha menjawab pertanyaan yang berbeda tentang ketidaksetaraan. Marx
mencurahkan pada kekuasaan dan konflik, sedangakn Weber tertarik pada gaya
hidup. Oleh krena itu kedua model yang bersebrangan ini sebaiknya dianggap
saling melengkapi ketimbang saling bertentangan dalam memandang masyarakat.
Masing-masing mengungkapkan sejumlah ciri struktural sosial dengan sangat jelas
meskipun dengan cara mengaburkan yang lain.
Mobilitas sosial adalah suatu istilah yang amat dikenal
sejarawan, dan jumlah monograf, konferensi, dan edisi khusus jurnal telah di
abadikan untuk tema yang satu ini. Sejarawan kurang mengenal beberapa perbedaan
yang dibuat oleh para ahli sosiologi tentang istilah terdebut, palin tidak tiga
diantaranya perlu di adopsi. Pertama, perbedaan antara pergerakan naik turun
tangga sosial, studi tentang ke bawah (turun) sering diabaikan. Kedua adlah
perbedaan anatara mobilitas sepanjang kehidupan seseorang dan mobilitas yang
mencakup beberapa generasi. Yang ketiga ialah perbedaan antara mobilitas individu dan mobilitas kelompok.
Penarikan garis pembeda antara mobilitas individu dan mobilitas kelompok ini tidak cukup jelas dalam perdebatan
mengenai apa yang disebut bangkitnya kaum semi bangsawan baru. Ada dua masalah
utama dalam sejarah mobilitas sosial, perubahan laju mobilitas dan perubahan
modus mobilitas. Pada abad ke 15-16
kekaisaran Ottoman, para elite militer dan pemerintahan direkrut dari
penduduk yang bergama kristen. Anak-anak yang direkrut benear di fasilitasi
lengkap sesuai dengan ke ahliannya. Golongan A akan menjadi abdi dalam yang
bisa menjadi pejabat. Golongan B menjadi abdi luar di kemiliteran. Semua
pegawai yang direkrut ini diharuskan masuk agama Islam. Dampak dari keharusan
pindah ini adala terutusnya budaya asli mereka, sehingga mereka tergantung pada
Sultan.
Cara lain menaikkan status di awal Eropa modern adalah dengan meniru gaya hidup kelompok yang
status sosial lebih tinggi dan mengamalkan kosumsi yang berlebihan. Para
bangsawan ini tidak mewakili model manusia ekonomi yang konvensional. Mereka tidak peduli dengan laba atau
penghematan, melainkan pada penghasilan yang stabil untuk membelanjakan
barang-barang impor seperti anggur
Perancis, seperti gaya hidup yang berlebihan. Para sejarawan sosial semakin
banyak mengadopsi konsep kosumsi berlebihan, konsep yang mewarnai sejumlah
studi tentang kaum elit abad ke 16-17 di Inggris, Polandia, Italia, dan
lain-lain. Kajian-kajian ini tidak hanya mngilustrsikan teori tersebut
melainkan juga mengelaborasikannya secara lebih rinci dan melakukan sejumlah penyusaian. Misalnya, benar menurut
tradisi peanfsiran sejarah (Hermeneutika) meraka. Sejarawan menekankan bebrapa
pelaku pada masanya setidak-tidaknya mengerti apa yang terjadi dan
menganalisisnya.
Patronase dapat
didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi
antra pihak-pihak yang tidak setara, antra pemimpin (patron) dan pengikutnya
(klien). Masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan
dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai
bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain).
Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan pekerjaan, dan perlindungan kepada
kliennya. Begitulah cara mereka mengubah kekayaan menjadi kekuasaan. Di
Inggris, hubungan antara pemimpin lokal (lord/ Master) dan
pengikutnya-pengikutnya (disebut teman atau orang yang beritikat baik) adalah
fundamental bagi organisasi masyrakat. Orang kecil membutuhkan kepemimpinan
yang baik dari orang besar. Para pengikutnya mencintai pemimipin tidak hanyan dengan penghormatan
tetapi juga hadiah. Sistem itu memberikan dampak positif kepada intregasi
politik, tapi konflik politik dan korupsi. Masalah korupsi yang beberapa kali
muncul ke permukaan dalam tulisan ini, perlu mendapatkan sedikit perhatian.
Mendefinisikan korupsi secara relatif longgar sebagai perilaku yang menyimpang
dari tugas-tugas formal pejabat publik.
Pembahasan tentang
patronase dan korupsi mengiring kita ke persoalan kekuasaan. Kekuasaan adalah
istilah yang sangat dikenal dalam bahasa awam, paling tidak di Barat, sehingga
tak ada masalah dengan istilah ini. Namun pengertian kekuasaan kebudayaan lain
seperti jawa melihat kekuasaan sebagai sebentuk kekuasaan kreatif yang dapat
diperebutkan oleh pihak-pihak yang bersaing. Kekuasaan adalah suatu konsep yang
sering dijelmakan secara konkret. Mudah saja mengaasumsiakan bahwa seseorang,
suatu kelompok atau lembaga dalam masyarakat tertentu memiliki kekuasaan
sementara orang-orang lain tidak, misalnya raja kelas pengusaha atau elite
politik. Seperti pernah ditekankan oleh ilmuan politik Amerika, Harlod Lass
Well “siapa yang mendapat paling banyak elite, lainnya adalah massa. Salah satu
iplikasi dari pendekatan antropologid terhadap kekuasan ini adalah keberhasilan
atau kegagalan relatif atas benruk-bentik organisasi tertentu. Implikasi lain
perlu adanya pengkajian secara serius simbol-simbol untuk mengenali kekuatannya
dalam mobilitas dukungan politik.
Proses
sentralisasi politik merupakan kajian tradisional. Sedang pinggiran adalah konsep
yang relatif baru muncul sebagi akibat
adanya perdebatan di antara para ahli ekonomi, seperti Raul Presbich, Paul
baran dan Andre gunder Frank pada tahun 1950an dan 1960an. Immanuel
Wallerstein, sosiologiwan Amerika Serikat
selangkah lebih maju dalam bahasannya tentang kebangkitan kapitalisme,
dengan menggabungkan teori para ekonomi Amerika Latin dan sejarawan Eropa
Timur. Ia mengatakan bahwa harga pembangunan ekonomi di barat tidak hanya cukup
perbudakan di Timur tetapi juga perbudakan di Dunia Baru (Dunia Ketiga) sebagai
bagian dari pemabagian kerja baru antara pusat dan daerah pinggiran. Perubahan
apa yang dinamakan daerah semi-pinggiran, khusunya Eropa di sekitar Laut Tengah.
Salah satu
persoalan yang timbul dari penggunaan kedua konsep pusat dan pinggiran, adalah
masalah relasi kedua konsep ini apakah hubungannya saling melengkapi atau berlawanan? Masalah yang sama juga
muncul penggunaan istilah budaya elit dan budaya populer dengan istilah budaya
dominan dan suborninat, untuk menganalisis relasi keduanya dalam
pengertian kontrol sosial atau hegemoni
budaya. Kontrol sosial adalah konsep tradisionla sosiologi yang
menggambarkan tentang kekuasaan yang diterapkan masyarakat atas
individu-individu melalui hukum, pendidikan, agama dan lain-lain.
Kadang-kadang, penentangan (resistensi)
sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka atau semacam gerakan sosial
lain. Seperti bukunya Eric Hobsbawm Primitive Rebels (Pemberontakan
Primitif) kajian tentang bentuk-bentuk kuno gerakan sosial abag ke-19 dan
ke-20. Satu kelemahan dalam Primitive Rebels adalah luasnya pengertian
istilah gerakan sosial, mencakup segala sesuatumulai dari kerusuhan yang
berlangsung beberapa jam hingga organisasi perlawanan permanen. Organisasi
formal telah lam menjadi objek kajian para sosiologiwan dan sejarawan. Telah
banyak pula dilakukan penelitian tentang rakyat banyak dan kerusuhan sejak
ditemukannya sejarah berasal dari kalangan bawah. Sebaliknya gerakan yang hanya
berlangsung beberapa jam dan tidak terorganisir secara permanen agaka
terabaikan oleh sejarawan, boleh jadi karena tidak memiliki model yang sesuai.
Gerakan-gerakan ini pada dasarnya
berubah-ubah dan informal sifatnya dan bercirikan komunitas.
Persoalan politik berupa dominasi dan
pertentangan (resistensi) membawa kita menoleh kembali ke aspek kebudayaan,
persoalan etos, mentalitas atau ideologi. Orang bisa saja mengklaim bahwa
sejarah sosial tidak mungkin ditulis tanpa mengenal tentang sejarah ide-ide,
dengan catatan bahwa yang dimaksud oleh pendapat ini adalah tentang sejarah ide
masing orang, bukan sejarah ide pemikir paling orisinil pada zamannya. Jika
para sejarawan ingin setipa orang yang
hidup di suatu masyarakat tertentu, seabaiknya
meraka mengenal betul konsep yang berlawanan yakni mentalitas dan ideologi. Sejarah
mentalitas pada dasarnya adalah pendekatan aliran Durkheim terhadap ide-ide,
kendati Durkheim sendiri lebih suka memakai
istilah represensi kolektif. Pendekatan ini berbeda dengan sejarah
intelektual konvesional, setidaknya dalam tiga bentuk. Ada penekanan yang lebih kepada sikap kolektif keyimbang
sikap individual, kedua lebih kepada asumsi-asumsi tersirat dari pada teori-teori
eksplisit, yakni akal sehat atau apa yang dianggap sebagai akal sehat dalam
kebudayaan tertentu. Ketiga kepada struktur sisitem keyakinan, termasuk juag
perhatian terhadap kategori-kategori yang dipakai untik menafsirkan pengalaman
serta metode pembuktian dan persuasi.
Ideolgi adalah istilah
yang memiliki banyan definisi, sebagian orang memakai istilah ini dalam arti
meremehkan. Sebagian memperlakukan
netral, sabagai pandangan terhadap dunia. Perbedaan yang bagus anatara kedua
konsep ideologi itu dikemukakan oleh yang Mannheim. Konsep pertama yang
dinamakan konsepsi total ideologin, mengisyaratkan adanya asosiasi antara
keyakinan atau pandangan terhadap dunia
dan kelompok sosial. Kesep kedua adalah pandangan yang menganggap bahwa ide-ide atau reprensetasi boleh jadi digunakan untuk
mempertahankan tatanan sosial atau politik tertentu.
Studi tentang bahasa, apa dan kapan yang menenkankan tentang
kecederungan banyan pembicara mengubah bahasa atau bentuk bahasanya pada
berbagai situasi atau rahan bicara. Beberapa sejarawan tengah mengkaji sejarah
sosial bahasa, perubahan-perubahan bentuknya dan berbagai fungsinya, misalnya
bahasa seperti halanya kosumsi, cara beberapa kelompok sosial yang membedakan
diri dengan kelompok lain. Para ahli sejarah seni juga semakin memberi
perhatian pada masalah respon terhadap gambar/patung di gereja (iconoclasm),
misalanya baik yang ditunjukan kepada gamabar/patung orang jahat atau suci,
telah dikaji sebagai bukti yang memungkinkan kita merekonstruksi sudut pandang
orang-orang yang sudah lama meninggal dunia yang dulu memandanginya.
Definisi tentang
etnografi komunikasi yang ditwarkan Dell Hymes adalah memasukkan saluran
(dengan kata lain media). Media komunikasi itu lisan, tulisan, atau gambar
adalah bagian dari pesan, walaupun beigitu klaim itu salah satu harus
dipertimbangkan para sejarawan menelaah
bukti. Meski kebangkita sejarah lisan sudah ada sejak generasi lampau, baru
akhir-akhir ini saja para sejarawan memberi perhatian seriusterhadap tradisi
lisan sebagai bentuk seni. Proposi bahwa sebuah dokumen adlah teks yang untuk
membacanya perlu kemampuan kritik literer merupakan sebuah tantanngan lain bagi
para sejarawan baru.
Sejarawan sering
memakai istilah mitos untuk merujuk kepada cerita yang tidak benar,yang membedakan cerita buatan atau
sejarah. Malinowski mengkalim bahwa mitos adalah cerita yang mempunyai fungsi
sosial, suatu mitos adalah suatu cerita tentang masa lampau yang berfungsi
sebagai piagam untuk masa kini. Definisi lain
mitos ialah cerita yang berisi
pesan moral. Bagaimanapun, penting disadari bahwa cerita lisan dan tulisan
termasuk cerita-cerita yang dianggap oleh penceritanya sebagai kebenaran tanpa
polesan, mengandung elemen elemen archetype, stereotipe, dan mitos.
Bab 4 Masalah-masalah pokok
Ada tiga konflik intelektual, pertama pertentangan ide tentang
fungsi (struktur) di sisi lain. Kedua, keterangan antara pandangan yang melihat
kebudayaan sebagai suprastruktur dan yang melihat kebudayaan sebagai kekuatan
aktif sejarah. Ketiga, konflik antara pandangan bahwa sejarawan, sosiologiwan,
antropologiwan, dan menyajikan fakta-fakta tentang masyarakat masa kini atau
masa lampau dan pendapat bahwa hasil karya meraka hanya sejenis fiksi. Fungsi
atau paling tidak dulunya adalah konsep kunci dalam teori sosial. Fungsi
melihat sebagai konsep yang aman saja, yang artinya kira-kira kegunaan lembaga.
Akan tetapi, apabila didefinisikan dengan lebih tepat, ada sisi pentingg yang
membuat konsep ini lebih menarik sekaligus bahaya. Fungsi tiap-tiap bagian
struktur, demikian kata definisi adalah memelihara keutuhan struktur (dalam
analaogi tang terkenal, keseimbangan antara dunia alam, mulai dari mekanika
sampai biologi, dan dunia masyarakat). Yang membuat menarik sekaligus berbahaya
ialah bahwa teori tidak menggambarkan (deskriptif) tetapi juga menjelaskan
(eksplanatori). Keberadaan suatu adat
kebiasaan atau pranata tertentu, menurut para fungsionalis adalah kerena
kontribusi bagi keseimbangan sosial.
Daya tarik fungsionalisme bagi sejarawan adalah bahwa
fungsionalisme mampu mengimbangi tendensi tradisional yang suka terlalu banyak
menjelaskan hal-hal masa lalu menyangkut kehendak (intensions) individu.
Selain memecahkan masalah, fungsionalisme juga menimbulkan berbagai masalah.
Satu di antaranya dapat diambil dari sebuag esai yakni analisis Stone tentang
penyebab timbulnya Revolusi Inggris. Konsep fungsi adalh sebuah alat yang
sama-sama bermanfaat bagi para sejarawan
dan teoritis, asalkan konsep itu tidak dipertumpul dengan penggunaan yang
hantam kromo. Konsep ini memang dapat embuat terabaikannya perubahan sosial,
konflik sosial, dan motif-motif individu, namun hal itu dapat dihindari. Tidak
perlu mengangap bahwa setiap pranata pada
suatu masyarakat tertentu harus
memiliki fungsi positif, yang tanpa biaya (disfungsi). Tidak perlu pula beranggapan
bahwa pranata tertentu harus ada agar fungsi tertentu dapat berjalan, karana
pada masyarakat atau periode yang berbed, pranata-pranata yang berbeda dapat
saja berperan sebagai ekuivalen, analog, atau alternatif-alternatif fungsional.
Analisis funsional memberi
perhatian pada struktur, bukan orang. Dalam pelaksanaanya berbagai pendekatan
terhadap masyarakat menggunakan konsepsi struktu yang tidak sama ada tiga
perbedaan. Pertama pendekatan Marxian, di mana termilogi arsitektur yakni dasar
dan suprastruktur adalah intinya, dan
dasar atau infrastruktur itu di pahami menurut
konteks ekonomi. Kedua pendekatan struktural fungsionalis, di mana
konsep struktur secara lebih umum digunakan untuk merujuk pada suatu kopleks
pranata keluarga, negara, sistem hukum,
dan lain. Ketiga disebut pendekatan strukturalis mulai dari Claude
Levi-Strauss, Ronald Barhes hingga Michael Foucault.salah satu analisi
struktural paling mengesankan yang pernah dilakukan oleh sejarawan adalah studi tentang karya sejarawan lain yakni esai
Francis Hartog tentang Herodotus.
Peran psikologi agak marjinal dalam pembahan buku in. Alasannya
terlatak pada relasi antara psikologi dan sejarah. Di Amerika tahun 1950 ada
pendekatan baru yang mengasyikan psikosejarah kajianya tentang Luther Muda yang
dilakukan analisi kejiawaan Erik Erikson menimbulkan perdebatan hangat. Teori
psikologi bisa bermanfaat bagi para sejarawan paling tidak melalui tiga cara.
Pertama, sejarwan terbebas dari asumsi yang hanya berdasarkan akal sehat tentan
sifat manusi, asumsi-asumsi sebenaranya menjadi kuat karena tidak diakui, jika
bukan disadari, ketepatanya maknanya dengan asumsi fruedian. Kedua , teori
psikologiwan memberikan sumbangan terhadap proses kritik sumber. Agar buku
harian dapat digunakn secara tepat sebagai sumber bukti sejarah. Sejarawan lisan
juga mulai memikirkan adanya unsur fantasi dalam keterang lisan yang
mendasarkan fantasi. Ketiga adanya
sumbangan para psikologiwan dalam perdebatan mengenai hubungan antara individu
dan masyarakat. Sebagai contoh, psikologiwan
telah memberi perhatian pada psikologi pengikut di samping psikologi
pemimpin misal kebutuhan figur seorang ayah. Sumbangan lain psikologiwan daalm
membantu mendefinisikan ulang hubungan antara individu dan masyarakat adalah
pola pemeliharaan anak pada berbagai kebudayaan.
Istilah kebudayaan semakin
luas karena semakinluasnyan perhatian sejawaran dan ilmua lain. Perhatian
semakin banyak dicurahkan kepada budaya populer yakni sikap-sikap dan
nilai-nilai masyarakat awam serta pengungkapannya ke dalam kesenian rajyat, lagu rakyat, cerita rakyat, festival
rakyat dll. Studi mengenai perubahan menyangnkut tentang tranmisi/ tardisi atau
reproduksi budaya. Istilah ini mengacu kepada kecenderungan masyrakata pada
umumunya dan sistem pendidikan pada khususnya untuk meproduksi diri melalui penanaman nilai nilai masa lalu kepada
generasi muda. Konsep reproduksi budaya itu berguna untuk menarik perhatian
terhadap upaya yang dikerahkan untuk meneliti di lapangan, dengan kata lain
meneliti dan membiarkan masyarakat kurang lebih sebagaimana adanya.
Bab 5 Teori Sosial dan Perubahan Sosial
Konsepsi tentang perubahan sacara tidak langsung terkait dengan
konsepsi kontinuitas. Selama ini kontinuitas digambarkan hal yang negatif.
Sebagai contoh kepedulian Elias terhadap adab makan menyiratkan pentingnya
melatih anak sebagai bagian dari peradapan. Mengajari anak penting artinya bagi
terciptanya reproduksi kultural dan mungkin saran perubahn yang efektf, ini
merupak gambaran yang lebih pasitif. Campur tang dari luar ini tampa jelas pada
kasus-kasus yang dibahas Wachtel dan Sahlins. Akan tetapi, sebagaiman telah
kita liah penjelasan mereka tentan perubahan di Peru dan Hawaii tidak hanya
dari perspektif eksterna saj. Sebaliknya kedua penulis menekankan hubungan atau
kesesuain antara faktor dalam (endogen) dan faktor luar (eksogen), sama dengan
teori resepsi. Kita harap model-model sosial mendatang akan membahas juga faktor-faktor yang
menyebabkan sebagian masyarakat terbuka terhadap pengaruh luar, sedangkan
sebagian bertahan dari pengeruh tersebut. Hubungan antara kejadian dan struktur telah disorot
dalam teori sosial masa kini, terutama dalm bahasa Anthony Giddens tentang
struktursi. Fungsi-fungsi destruktif dan kreatif kejadian lebih ditekankan dala
sebuah kajian tentang petani pada mesa Revolusi Perancis, Le Roy Ladurie
menyebutkan kemungkinan terjadinya peristiwa hanya sebagai katalis atau matriks
peristiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar