Rabu, 04 Februari 2015

Sejarah dan Teori Sosial (Peter Burke)

SEJARAH DAN TEORI SOSIAL (PETER BURKE)


Resume dari


Mohamad Lukman Hakim S. Hum


    
MAGISTER ILMU SEJARAH
 FAKUTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG




Bab I Teori dan Sejarawan
Pemahaman terhadap teori bagi sejarawan masih ada 2 pandangan yakni pertama ada anggapan bahwa teori sebagai pemecah permasalahn yang sering ditemui oleh sejarawan yang dalam metodolgi sejarah belum ada, dan yang kedua teori masih dianggap aneh dan menentang teori dalam sejarah. Perbadaan pandangan terhadap penggunaan teori dalam  sejarah  menyebabkan kesalahpaham antara sejarawan ddan pakar-pakar ilmu lain. seperti sejarawan dan sosiologiwan yang sering tidak sepaham walaupun sama-sama meneliti pola yang ada di masyarakat. Sosiologi melihat struktur masyarakat dan perkembangannya, sedangkan sejarah melihat perubahan masyarakat dari waktu ke waktu. Dari kedua disiplin ilmu ini saling membicarakan kelemahan, sejarawan melihat bahwa sosiologiwan hanya terpaku hal-hal yang abstrak dan tidak memiliki sense waktu dan tempat membenakan individu ke dalam kategori-kategori yang kaku. Sedang sosiologiwan membeicarakan sejarah  sebagai tukang kumpul fakta amatiran yang rabun, yang tidak mempunya sistem, metode dan tidak akuratnya data sehingga dicocokan dengan ketidak mampuan menganalisisnya. Sebenarnya kedua disiplin ilmu bisa saling melengkapi satu sama lain.
 Pada abad ke-18 tidak perselisihan antara sosiologiwan dan sejarawan karena sosiologi pada saat itu belum menjadi disiplin ilmu tersendiri. Seratus  tahun kemudian hubungan sejarah dengan teori sosial kurang harmonis sehingga sejarawan menjauh tidak hanya dari teori sosial tetapi juga dari sejarah sosial. Leopold Van ranke  memang tidak menolak mentah-mentah sejarah sosial, akan tetapi karyanya  pada umumnya kurang tertarik pada sejarah sosial. Sejarah sosial ditinggalkan karena pertama negara Eropa apada abad ke 19 menjadikan sejarah bangsa sebagai alat propaganda kaum nasionlis sehingga sejarah politik kembali dominan. Kedua kembalinya sejarawan ke sejarah politik bersifat politik. Ranke melakukan revolusi sejarah terutama terkait sumber dan metode yakni dari penggunaan kronik  ke penggunaan arsip resmi pemeritah. Revolusi rangke ini membawa efek yang tak terduga, tetapi amat penting, karena pendekatan dokumen yang baru berfungsi baik bagi penulisan sejarah politik yang tradisional.
Para teoretisi sangat menaruh perhatian terhadap masa lau tetapi tidak begitu menghargai sejarawan. Comte misalnya, mencaci maki sejarah sebagai hal yang tidak penting karena kekanak-kanakan, rasa ingin tahu yang tidak rasional. Specer malah mengatakan sosiologi lebih tinggi dari pada sejarah, sejarawan hanya dianggap sebagai pengumpul bahan mentah sosiologi. Selain itu Specer berkata “Biografi raja-raja tidak ada sumbangannya terhadap kemajuan ilmu tetang masyarakat (Sedikit yang bisa dipelajari oleh anak-anak). Hal berbeda menurut Durkheim dan Weber mengenai sejarah. Durkheim  yang berjuang keras menjadikan sosiologi sebagai disiplin ilmu baru dengan cara membedakannya dari ilmu sejarah, filsafat, dan psikologi sehingg dia perlu belajar sejarah kepada Fustel de Coulanges. Max Weber pengetahuannya sangat luas tentang sejarah. Ketika dia tercurah pada teori sosial kajian tentang sejarah tidak ditinggalkan. Dia bisa mendapat bahan dari sejarah dan dari sejarawan dia mendapatkan konsep-konsep. Weber tidak menganggap dirinya sosiologiwan, ketika menjadi ketua jurusan sosiologi di  Munich dia berkata “menurut surat pengangkatan, saya sekarang kebetulan ahli sosiologi”. Dia sendiri menganggap dirinya seorang ahli ekonomi politik atau sejarawan komparatif. 
Pada akhir abad ke-19, sejumlah sejarawan profesional kecewa dengan sejarah aliran Neo-Ranke. Salah satu pengkritik adalah Karl Lamprecht, yang mengecam sejarawan Jerman terlalu menitik beratkan pada sejarah politik dan orang-orang terkenal. Dia menamakanya sejarah kolektif  yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu seperti pendekatan psikologi sosial. Usaha Lamprecht untuk mengakhiri sejarh politik gagal  karena kebanyakan sejawan jerman belum meninggalakan paradigma Ranke. Di Amerika sejarah sosial mendapat tanggapan baik, sejarawan Amerika Serikat melancarkan kecaman terhadap sejarah tradisional, sama seperti Lamprecht dia mengatakan bahwa semua kegiatan manusia harus diperhatikan. Tidak ada bagian kehidupan sosial dapat dipahami secara terpisah dari yang lainnya. Di Perancis ada Marc Bloch dan Febvre yang menentang dominasi sejarah politik. Ambisi mereka menggantikan sejarah politik ke sejarah yang lebih manusiawi dan lebih luas, suatu sejarah yang membahas hal yang lebih luas dibandingkan analis struktur. Pada zaman sekarang di era tidak tegasnya garis-garis demarkarsi dan terbuaknya batas ranah intelektual, suatu zaman yang mangasyikkan sekaligus membingungkan.



Bab 2 Model dan Metode
Pada bab membahas tentang komparasi (perbandingan), kegunaan model, metode kuantatif dan pengunaan ‘Mikroskop’ sosial. Komparatif selalu berada pada posisi sentral dalam teori sosial. Durkheim membedakan komparatih menjadi dua, pertama membandingkan masyarakat-masyarakat yang secara mendasar sama strukturnya. Kedua, membandingkan masyarakat-masyarakat yang secara mendasar berbeda. Sejarawan cenderung menolak komparasi  dengan alasan mereka hanya mengamati hal-hal yang khusus dan tidak bisa diulang. Max weber pad tahun 1914 menyampaikan pada Georg Von Below “Kita setuju sepenuhnya bahwa sejarah mesti menegakkan hal-hal spesifik misalnya, pada kota-kota  abad pertengahan. Namun hal itu hanya mungkin jika kita dapat mengetahui hal-hal yang tidak ditemukan di kota-kota lain. Kita Cuma bisa berterima kasih kepada metode yang komparasi yang membuat kita bisa melihat apa yang tidak ada, dengan kata lain memahami sidnifikasi hal-hal tertentu yang tidak ada”. Diantara sejarawan pertama yang mengikuti jejaj Durkheim dan Weber adalah March Bloch dalam karyanya Feudal Society (1938-1940) Eropa  abad pertengahan, tetapi di dalam terdapat satu bagian tentan Jepang. Tulissan ini selain mencatat kemiripan kedudukan para Ksatria dengan para Samurai, menekankan pula perbedaan antara kewajiban sepihak seseorang Samurai pada majikannya dari kewajiban sepihak antra tuan dan hambanya di Eropa, di mana seseorang hamba berhak melawan apabila tuan tidak menepati kewajiban. Inti metode komparatif adalah terletak pada pengidentifikasian tahapan yang telah dicapai oleh suatu masyrakat tertentu, yakni dengan menentukan posisinya  pada urutan tahapan evolusi.
            Metode kuantitatif  relatif baru dan kontrovesi  ialah pandangan bahwa metode kuantitatif dapat digunakan untuk mengkaji perilaku manusia dan bahkan sikap. Ada banyak macam metode kuantitatif, yang dianggap cocok bagi kebutuhan sejarawan analisis serial, yang menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu seperti perubahan gandum, perolehan suatu partai dalam pemilu, jumlah penduduk dari tahun ke tahun inilah uang disebur orang Perancis sejarah serial (Histoire Serielle). Metode-metode kuantitatif lain lebih kompleks misalnya metode yang di kenal dengan sejarah ekonomi baru yang menekankan pada pengukuran kinerja ekonomi secara keseluruhan, yakni menghitung produk Nasional Bruto masa lalu. Tanpa metode kuantitatif sejarah jenis-jenis lain tidak akan  mungkin, terutama tentang pengkajian pergerakan harga dan jumlah penduduk.  Keseulitan terbesar yang dihadapi pemakai metode kuantitatif adalah pembedaan antara data keras, yang bisa diukur dan data lunak yang tidak bisa diukur. Data lunak bisanya lebih berharga dari pada data keras.
Mikroskop sosial ialah melihat sejarah sosial dari yang terkecil dan mendetail. Mikroskop sosial bisa menfokuskan pada satu individu, satu kejadian atau satu masyarakat  kecil sebagai objek khusus kajian  yang dari sana diamati ketidakselarasan sistem sosiala atau sistem budaya  besarnya, celah-celah, keretakan-keretakan pada struktur yang memeberikan sedikit ruang  bebas pada individu, seumpama tanaman yang tumbuh  di selah dua batu karang. Seperti sejarah jepang yang terkenal yaitu 47 Ronin dia wal abad ke-18, dua bangsawan bertengkar di istana Shogun. Asano merasa dihina lalu menghunus pedang dan melukai lawanya Kira. Sebagai hukumannya atas perbuatan menghunus pedang di hadapan Shogun, Asano harus melakukan bunuh diri sesuai aturan yang berlaku, sehingga bawahanya tidak memiliki tuan dan menjadi 47 Ronin. Para bawahan Asano ini memutuskan menuntut balas atas kematian tuannya. Setelah sekian lama akhirnya 47 Ronin berhasil menuntut balas dan menyerah kepada pemerintah. Pemerintah mengahadapi dilema, mereka melanggar hukum disisi lain mereka justru menunaikan apa yang ada di hukum informal kalangan Samurai, yang mana kesetian terhadap yuanya adalah nilai paling luhur dan aturan ini didukung oleh pemerinthan Shogun. Jalan keluar dari dilema itu adalah meraka diperintahakan melakukan bunuh diri seperti yang dilakukan tuannya dan kesetian mereka dihormati. Daya tarik sejarah ini adalah bagi orang Jepang naik masa itu atau masa setelahnya adalah konflik laten di antara norma-norma sosial yang fundamental. Kisah itu menceritakan tentang suatu yang penting mengenai budaya Tokugawa. Jika gerakan mikro harus menhidari hukum ‘the law of deminishing returns’ (makin banyak yang didapat, makin rendah tingkat kepuasan) maka para praktisi sejarah mikro harus lebih banyak mengkaji budaya yang lebih puas dan kecederungan sejarah makro.

Bab 3 Konsep-konsep Pokok
Konsep pokok dalam sejarah sebagai peralatan koseptual yang telah atau mungkin akan dipakai oleh sejarawan, atau setidaknya konsep-konsep yang penting saja. Meskipun kosep-konsep ini masih berguana, namun belum cukup maka sejarawan perlu mempelajari bahasa-bahasa  yang digunakan dalam teori sosial. Salah satu konsep sosiologi paling sentral adalag peranan sosial, yang men  definisikan dalam pola-pola atau norma perilaku yang diharapkan dari orang yang menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur sosial. Pada kebanyakan masyarakat, mulai dari zaman Yunani kuna sampai zaman Inggris di masa kekuasan Elizabeth, orang-orang yang hidup pada zamannya mengerti betul akan peranan sosial. Mereka menganggap dunia ini panggung/tempat setiap orang memainkan banyak peranan dalam hidupnya. Namun dalam teoritisi sosial mengembangkan pandangan itu lebih jauh, tokohnya adalah Erving Goffman yang terkagum-kagum pada apa yang dinamakan “Dramaturgi” kehidupan sehari. Goffman mengaitkan konsep peranan dengan konsep-konsep penampilan wajah, daerah depan, daerah belakang, dan ruang personal untuk menganalisis presentasi diri atau menjelaskan kesan.
             Membahas antara laki-laki dan perempuan sebagai contoh pembagian antara dua peranan sosial, tampak jelas persoalan kemaskulinan dan kefeminiman itu diciptakan secara sosial, perubahan pandangan ini sebagian besar adalah hasil perjuangan gerakan kaum perempuan. Secara tidak langsung feminisme telah menyumbang penulisan sejarah, sama seperti penulisan kalangan bawah. Sejarah perempuan memberikan perspektif baru tentang masa lampau, yang sampai sekarang kosekuensinya belum dipikirkan secara mendalam. Sebagai akibat dari perspektif baru ini adalah dipersoalkanya skema-skema periodisasi yang telah mapan. Periode-periode pada sejarah demografi yang disusun tanpa mempertimbangkan perempuan. Perempuan nyaris tidak tampak oleh sejarahwan dalam arti pentingnya pekerjaan sehari-hari, pengaruh politik mereka (pada semua tingkatan politik), sejarwan lebih sering membahas mobilitas umum dari sudut pandang laki-laki saja atau perempuan diberangus dalam mengeluarkan gagasan dan hanya dapat melalui bahasa laki-laki. Gerakan perempuan dan teori-teori yang terkait dengan itu telah mendorong baik sejarawan perempuan maupun laki-laki mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru tentang massa lalu. Proses kontruksi gender secara sosial atau kulutral juga merupakan objek kajian kesejarahan. Begitu juga dengan pnedekatan terhadap seks, berkat adanya konseptualisasi ulang yang berani oleh Michael Foucault yang menyatakan bahwa homoseksualitas dan tentunya seksualitas adalah temuan modern.
            Keluarga dan kekerabatan, contoh paling jelas lembaga yang terdiri dari sekumpulan peranan yang saling tergantung dan saling melengkapi. Sejarah keluarga merupakan kajian yang berkembang paling cepat. Pendekatan rumah tangga ini tepat dan relatif mudah untuk didokumentasiakan, berkat arsip-arsip sensus yang masih ada. Tetapi, pendekatan ini memang ada bahayanya yaitu pertama perbedaan keluarga majemuk, keluarga besar dan keluarga kecil. Kedua penggunaan jumlah anggota dan komposisi rumah tangga sebagai indeks struktur keluarga menghdapkan kepada masalah data keras dan data lunak. yang terpenting semua itu adalah rumah tangga merupakan sebuah kelompok yang menjadi acuan identitas anggotanya dan sebagai wadah keterlibatan emosional mereka. Keberagaman ini menimbulkan masalah, sebab belum tentu fungsi-fungsi ekonomi, emosional, tempat tinggal, dan sebagainya itu berjalan seiring. Indeks yang berdasarkan pada berdampingng tempat tinggal mngkin tidak memberikan informasi yang sangat kita butuhkan untuk mengetahui struktur keluarga.
            Seperti di atas digamabarkan keluarga sebagai komunitas moral, konsep komunitas telah mulai memainkan peranan penting dalam penukisan sejarah pada beberapa tahun terakhir. Tantangan bagi ahli sejarah kota adalah bagaimana mereka mengkaji terciptanya, bertahannya, dan hancurnya komunitas-komunitas tersebut.  Antropologiwan Victor Turner, yang mengembangkan gagasan Durkheim tentang pentingnya acra-acara “Pesta buih kreatif” bagi pembaharuan sosial, menciptakan istilah communitas untuk menyebutkan solidaritas sosial yang spontan dan tidak terstruktur.  Solidaritas ini tentu bersifat sementara karena suatu kelompok informal sering bubar secara perlahan-lahan atau melebur ke dalam institusi formal. Walaupun begitu komunitas bisa dapat hidup kembali sewaktu-waktu di dalam institusi, berkat ritual dan acara-acra lain atas apa yang dinamakan pembentukan komunitas secara simbolik.
Istilah lain dari ritual-ritual ini adalah “identitas” kolektif, sebuah konsep yang semakin dikenal luas dalam disiplin ilmu . apakah identitas itu tunggal atau jamak? Apa sesungguhnya yang membentuk identitas nasional khususnya telah mendorong munculnya sejumlah karya terbaru yang hebat. Pengkajian mengenai perwujudan identitas tersebut dalam bentuk lagu kebangsaan, bendera negara, dan upacara –upacara. Misalnya  hari Bastile (nama benteng di Perancis didirikan pada abad 14, di runtuhkan  pada 14 Juli 1789) tidak lagi dipandang rendah sebagai suatu yang kuno. Kekuatan ingatan, kekuatan imajinasi, dan kukuatan simbol – khususnya bahasa dalam membentuk suatu komunitas kini semakin diakui. Cara mendifinisikan identitas suatu kelompok dengan membandingkan atau mengtraskan dang identitas kelompok lain misalnya Protestan dengan Katholik, laki-laki dengan perempuan. Kita juga tidak dapat mengasumsikan bahwa setiap kelompok dipersatukan oleh solidaritas: komunitas harus dibentuk dan dibangun ulang , tidak juga dapat diasumsikan bahwa komunitas itu berperilaku seragam atau bebas dai konflik, perjuangan kelas umpamanya.
Kelas/stratifikasi sosial adalah pokok bahasan yang sering membuat sejarawan tergoda untuk menggunakan istilah-istilah teknis seperti kasta, mobilitas sosial dan sebagainya, tanpa menyadari persoalan-persoalan yang berhubungan dengan istilah tersebut atau tanpa mengetahui perbedaan-perbedaan yang menurut  para teoritisi sosial tidak boleh diabaikan.  Tanpa mengunakan model, akan sulit untuk menggambarkan prinsip-prinsip  apa yang menentukan sistem ditribusi serta hubngan sosial. Model struktur yang dikenalkan Karl Marx meskipun pada kenyataannya bab tentang kelas dalam buku capital-nya tidak lebih dari beberapa baris saja, yang ditutup dengan cacatan editorial. Bagi Marx kelas adalah suatu kelompok sosial yang memiliki fungsi tertentu dalam proses produksi. Pemilik tanah, pemilik modaldan pekerja yang tidak memiliki apapun selain  dua tanganya adalah tiga kelas sosial besar, yang sejajar dengan tiga faktor produksi  dalam ilmu klasik, yakni tanah tenaga kerja, dan modal. Perbedaan fungsi dari kelas-kelas ini menimbulkan pertentangn kepentinagn yang memungkinkan berbedanya pikiran dan tindakan mereka. Jadi, sejarah adalah cerita tentang pertentangan kelas.
Max Weber “kelas” yang didefinisikan adalah kelompok oran\g yang peluang hidupnya ditentukan oleh situasi pasar, dibedakan dari status atau kelompok status  yang nasibnya ditentukan oleh status atau kehormatan yang disandangnnya. Predikat kelompok status ini biasanya melekat sejak lahir dan dikukuhkan secara resmi, namun predikat tersebut tercemin dalam gaya hidup. Jika definisi Karl Max tentang kelas adalah dalam pengertian produksi, definisi Weber tentang estate (kelompok sosial) boleh dikatakan tentang konsumsi.  Perdebatan antara Marx dan Weber memang rumit sebab ke dua orang ini berusaha menjawab pertanyaan yang berbeda tentang ketidaksetaraan. Marx mencurahkan pada kekuasaan dan konflik, sedangakn Weber tertarik pada gaya hidup. Oleh krena itu kedua model yang bersebrangan ini sebaiknya dianggap saling melengkapi ketimbang saling bertentangan dalam memandang masyarakat. Masing-masing mengungkapkan sejumlah ciri struktural sosial dengan sangat jelas meskipun dengan cara mengaburkan yang lain.
 Mobilitas sosial  adalah suatu istilah yang amat dikenal sejarawan, dan jumlah monograf, konferensi, dan edisi khusus jurnal telah di abadikan untuk tema yang satu ini. Sejarawan kurang mengenal beberapa perbedaan yang dibuat oleh para ahli sosiologi tentang istilah terdebut, palin tidak tiga diantaranya perlu di adopsi. Pertama, perbedaan antara pergerakan naik turun tangga sosial, studi tentang ke bawah (turun) sering diabaikan. Kedua adlah perbedaan anatara mobilitas sepanjang kehidupan seseorang dan mobilitas yang mencakup beberapa generasi. Yang ketiga ialah perbedaan antara  mobilitas individu dan mobilitas kelompok. Penarikan garis pembeda antara mobilitas individu dan mobilitas kelompok  ini tidak cukup jelas dalam perdebatan mengenai apa yang disebut bangkitnya kaum semi bangsawan baru. Ada dua masalah utama dalam sejarah mobilitas sosial, perubahan laju mobilitas dan perubahan modus mobilitas. Pada abad ke 15-16  kekaisaran Ottoman, para elite militer dan pemerintahan direkrut dari penduduk yang bergama kristen. Anak-anak yang direkrut benear di fasilitasi lengkap sesuai dengan ke ahliannya. Golongan A akan menjadi abdi dalam yang bisa menjadi pejabat. Golongan B menjadi abdi luar di kemiliteran. Semua pegawai yang direkrut ini diharuskan masuk agama Islam. Dampak dari keharusan pindah ini adala terutusnya budaya asli mereka, sehingga mereka tergantung pada Sultan.
Cara lain menaikkan status di awal Eropa modern  adalah dengan meniru gaya hidup kelompok yang status sosial lebih tinggi dan mengamalkan kosumsi yang berlebihan. Para bangsawan ini tidak mewakili model manusia ekonomi yang konvensional.  Mereka tidak peduli dengan laba atau penghematan, melainkan pada penghasilan yang stabil untuk membelanjakan barang-barang impor  seperti anggur Perancis, seperti gaya hidup yang berlebihan. Para sejarawan sosial semakin banyak mengadopsi konsep kosumsi berlebihan, konsep yang mewarnai sejumlah studi tentang kaum elit abad ke 16-17 di Inggris, Polandia, Italia, dan lain-lain. Kajian-kajian ini tidak hanya mngilustrsikan teori tersebut melainkan juga mengelaborasikannya secara lebih rinci dan melakukan  sejumlah penyusaian. Misalnya, benar menurut tradisi peanfsiran sejarah (Hermeneutika) meraka. Sejarawan menekankan bebrapa pelaku pada masanya setidak-tidaknya mengerti apa yang terjadi dan menganalisisnya.
            Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antra pihak-pihak yang tidak setara, antra pemimpin (patron) dan pengikutnya (klien). Masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain). Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan pekerjaan, dan perlindungan kepada kliennya. Begitulah cara mereka mengubah kekayaan menjadi kekuasaan. Di Inggris, hubungan antara pemimpin lokal (lord/ Master) dan pengikutnya-pengikutnya (disebut teman atau orang yang beritikat baik) adalah fundamental bagi organisasi masyrakat. Orang kecil membutuhkan kepemimpinan yang baik dari orang besar. Para pengikutnya mencintai  pemimipin tidak hanyan dengan penghormatan tetapi juga hadiah. Sistem itu memberikan dampak positif kepada intregasi politik, tapi konflik politik dan korupsi. Masalah korupsi yang beberapa kali muncul ke permukaan dalam tulisan ini, perlu mendapatkan sedikit perhatian. Mendefinisikan korupsi secara relatif longgar sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas-tugas formal pejabat publik.
            Pembahasan tentang patronase dan korupsi mengiring kita ke persoalan kekuasaan. Kekuasaan adalah istilah yang sangat dikenal dalam bahasa awam, paling tidak di Barat, sehingga tak ada masalah dengan istilah ini. Namun pengertian kekuasaan kebudayaan lain seperti jawa melihat kekuasaan sebagai sebentuk kekuasaan kreatif yang dapat diperebutkan oleh pihak-pihak yang bersaing. Kekuasaan adalah suatu konsep yang sering dijelmakan secara konkret. Mudah saja mengaasumsiakan bahwa seseorang, suatu kelompok atau lembaga dalam masyarakat tertentu memiliki kekuasaan sementara orang-orang lain tidak, misalnya raja kelas pengusaha atau elite politik. Seperti pernah ditekankan oleh ilmuan politik Amerika, Harlod Lass Well “siapa yang mendapat paling banyak elite, lainnya adalah massa. Salah satu iplikasi dari pendekatan antropologid terhadap kekuasan ini adalah keberhasilan atau kegagalan relatif atas benruk-bentik organisasi tertentu. Implikasi lain perlu adanya pengkajian secara serius simbol-simbol untuk mengenali kekuatannya dalam mobilitas dukungan politik.  
            Proses sentralisasi politik merupakan kajian tradisional. Sedang pinggiran adalah konsep yang relatif  baru muncul sebagi akibat adanya perdebatan di antara para ahli ekonomi, seperti Raul Presbich, Paul baran dan Andre gunder Frank pada tahun 1950an dan 1960an. Immanuel Wallerstein, sosiologiwan Amerika Serikat  selangkah lebih maju dalam bahasannya tentang kebangkitan kapitalisme, dengan menggabungkan teori para ekonomi Amerika Latin dan sejarawan Eropa Timur. Ia mengatakan bahwa harga pembangunan ekonomi di barat tidak hanya cukup perbudakan di Timur tetapi juga perbudakan di Dunia Baru (Dunia Ketiga) sebagai bagian dari pemabagian kerja baru antara pusat dan daerah pinggiran. Perubahan apa yang dinamakan daerah semi-pinggiran, khusunya Eropa di sekitar Laut Tengah.  
            Salah satu persoalan yang timbul dari penggunaan kedua konsep pusat dan pinggiran, adalah masalah relasi kedua konsep ini apakah hubungannya saling melengkapi  atau berlawanan? Masalah yang sama juga muncul penggunaan istilah budaya elit dan budaya populer dengan istilah budaya dominan dan suborninat, untuk menganalisis relasi keduanya dalam pengertian  kontrol sosial atau hegemoni budaya.  Kontrol sosial  adalah konsep tradisionla sosiologi yang menggambarkan tentang kekuasaan yang diterapkan masyarakat atas individu-individu melalui hukum, pendidikan, agama dan lain-lain.
             Kadang-kadang, penentangan (resistensi) sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka atau semacam gerakan sosial lain.  Seperti bukunya Eric Hobsbawm  Primitive Rebels (Pemberontakan Primitif) kajian tentang bentuk-bentuk kuno gerakan sosial abag ke-19 dan ke-20. Satu kelemahan dalam Primitive Rebels adalah luasnya pengertian istilah gerakan sosial, mencakup segala sesuatumulai dari kerusuhan yang berlangsung beberapa jam hingga organisasi perlawanan permanen. Organisasi formal telah lam menjadi objek kajian para sosiologiwan dan sejarawan. Telah banyak pula dilakukan penelitian tentang rakyat banyak dan kerusuhan sejak ditemukannya sejarah berasal dari kalangan bawah. Sebaliknya gerakan yang hanya berlangsung beberapa jam dan tidak terorganisir secara permanen agaka terabaikan oleh sejarawan, boleh jadi karena tidak memiliki model yang sesuai. Gerakan-gerakan  ini pada dasarnya berubah-ubah dan informal sifatnya dan bercirikan komunitas.
             Persoalan politik berupa dominasi dan pertentangan (resistensi) membawa kita menoleh kembali ke aspek kebudayaan, persoalan etos, mentalitas atau ideologi. Orang bisa saja mengklaim bahwa sejarah sosial tidak mungkin ditulis tanpa mengenal tentang sejarah ide-ide, dengan catatan bahwa yang dimaksud oleh pendapat ini adalah tentang sejarah ide masing orang, bukan sejarah ide pemikir paling orisinil pada zamannya. Jika para sejarawan ingin setipa orang  yang hidup di suatu masyarakat  tertentu, seabaiknya meraka mengenal betul konsep yang berlawanan yakni mentalitas dan ideologi. Sejarah mentalitas pada dasarnya adalah pendekatan aliran Durkheim terhadap ide-ide, kendati Durkheim sendiri lebih suka memakai  istilah represensi kolektif. Pendekatan ini berbeda dengan sejarah intelektual konvesional, setidaknya dalam tiga bentuk. Ada penekanan  yang lebih kepada sikap kolektif keyimbang sikap individual, kedua lebih kepada asumsi-asumsi tersirat dari pada teori-teori eksplisit, yakni akal sehat atau apa yang dianggap sebagai akal sehat dalam kebudayaan tertentu. Ketiga kepada struktur sisitem keyakinan, termasuk juag perhatian terhadap kategori-kategori yang dipakai untik menafsirkan pengalaman serta metode pembuktian dan persuasi.
            Ideolgi adalah istilah yang memiliki banyan definisi, sebagian orang memakai istilah ini dalam arti meremehkan.  Sebagian memperlakukan netral, sabagai pandangan terhadap dunia. Perbedaan yang bagus anatara kedua konsep ideologi itu dikemukakan oleh yang Mannheim. Konsep pertama yang dinamakan konsepsi total ideologin, mengisyaratkan adanya asosiasi antara keyakinan atau pandangan  terhadap dunia dan kelompok sosial. Kesep kedua adalah pandangan yang menganggap bahwa ide-ide  atau reprensetasi boleh jadi digunakan untuk mempertahankan tatanan sosial atau politik tertentu.      
Studi tentang bahasa, apa dan kapan yang menenkankan tentang kecederungan banyan pembicara mengubah bahasa atau bentuk bahasanya pada berbagai situasi atau rahan bicara. Beberapa sejarawan tengah mengkaji sejarah sosial bahasa, perubahan-perubahan bentuknya dan berbagai fungsinya, misalnya bahasa seperti halanya kosumsi, cara beberapa kelompok sosial yang membedakan diri dengan kelompok lain. Para ahli sejarah seni juga semakin memberi perhatian pada masalah respon terhadap gambar/patung di gereja (iconoclasm), misalanya baik yang ditunjukan kepada gamabar/patung orang jahat atau suci, telah dikaji sebagai bukti yang memungkinkan kita merekonstruksi sudut pandang orang-orang yang sudah lama meninggal dunia yang dulu memandanginya.
            Definisi tentang etnografi komunikasi yang ditwarkan Dell Hymes adalah memasukkan saluran (dengan kata lain media). Media komunikasi itu lisan, tulisan, atau gambar adalah bagian dari pesan, walaupun beigitu klaim itu salah satu harus dipertimbangkan para sejarawan  menelaah bukti. Meski kebangkita sejarah lisan sudah ada sejak generasi lampau, baru akhir-akhir ini saja para sejarawan memberi perhatian seriusterhadap tradisi lisan sebagai bentuk seni. Proposi bahwa sebuah dokumen adlah teks yang untuk membacanya perlu kemampuan kritik literer merupakan sebuah tantanngan lain bagi para sejarawan baru.
            Sejarawan sering memakai istilah mitos untuk merujuk kepada cerita yang tidak  benar,yang membedakan cerita buatan atau sejarah. Malinowski mengkalim bahwa mitos adalah cerita yang mempunyai fungsi sosial, suatu mitos adalah suatu cerita tentang masa lampau yang berfungsi sebagai piagam untuk masa kini. Definisi lain  mitos  ialah cerita yang berisi pesan moral. Bagaimanapun, penting disadari bahwa cerita lisan dan tulisan termasuk cerita-cerita yang dianggap oleh penceritanya sebagai kebenaran tanpa polesan, mengandung elemen elemen archetype, stereotipe, dan mitos.

Bab 4 Masalah-masalah pokok
Ada tiga konflik intelektual, pertama pertentangan ide tentang fungsi (struktur) di sisi lain. Kedua, keterangan antara pandangan yang melihat kebudayaan sebagai suprastruktur dan yang melihat kebudayaan sebagai kekuatan aktif sejarah. Ketiga, konflik antara pandangan bahwa sejarawan, sosiologiwan, antropologiwan, dan menyajikan fakta-fakta tentang masyarakat masa kini atau masa lampau dan pendapat bahwa hasil karya meraka hanya sejenis fiksi. Fungsi atau paling tidak dulunya adalah konsep kunci dalam teori sosial. Fungsi melihat sebagai konsep yang aman saja, yang artinya kira-kira kegunaan lembaga. Akan tetapi, apabila didefinisikan dengan lebih tepat, ada sisi pentingg yang membuat konsep ini lebih menarik sekaligus bahaya. Fungsi tiap-tiap bagian struktur, demikian kata definisi adalah memelihara keutuhan struktur (dalam analaogi tang terkenal, keseimbangan antara dunia alam, mulai dari mekanika sampai biologi, dan dunia masyarakat). Yang membuat menarik sekaligus berbahaya ialah bahwa teori tidak menggambarkan (deskriptif) tetapi juga menjelaskan (eksplanatori). Keberadaan  suatu adat kebiasaan atau pranata tertentu, menurut para fungsionalis adalah kerena kontribusi bagi keseimbangan sosial.

Daya tarik fungsionalisme bagi sejarawan adalah bahwa fungsionalisme mampu mengimbangi tendensi tradisional yang suka terlalu banyak menjelaskan hal-hal masa lalu menyangkut kehendak (intensions) individu. Selain memecahkan masalah, fungsionalisme juga menimbulkan berbagai masalah. Satu di antaranya dapat diambil dari sebuag esai yakni analisis Stone tentang penyebab timbulnya Revolusi Inggris. Konsep fungsi adalh sebuah alat yang sama-sama bermanfaat bagi para  sejarawan dan teoritis, asalkan konsep itu tidak dipertumpul dengan penggunaan yang hantam kromo. Konsep ini memang dapat embuat terabaikannya perubahan sosial, konflik sosial, dan motif-motif individu, namun hal itu dapat dihindari. Tidak perlu mengangap bahwa setiap pranata pada  suatu masyarakat  tertentu harus memiliki fungsi positif, yang tanpa biaya (disfungsi). Tidak perlu pula beranggapan bahwa pranata tertentu harus ada agar fungsi tertentu dapat berjalan, karana pada masyarakat atau periode yang berbed, pranata-pranata yang berbeda dapat saja berperan sebagai ekuivalen, analog, atau alternatif-alternatif fungsional.
 Analisis funsional memberi perhatian pada struktur, bukan orang. Dalam pelaksanaanya berbagai pendekatan terhadap masyarakat menggunakan konsepsi struktu yang tidak sama ada tiga perbedaan. Pertama pendekatan Marxian, di mana termilogi arsitektur yakni dasar dan suprastruktur  adalah intinya, dan dasar atau infrastruktur itu di pahami menurut  konteks ekonomi. Kedua pendekatan struktural fungsionalis, di mana konsep struktur secara lebih umum digunakan untuk merujuk pada suatu kopleks pranata keluarga, negara, sistem hukum,  dan lain. Ketiga disebut pendekatan strukturalis mulai dari Claude Levi-Strauss, Ronald Barhes hingga Michael Foucault.salah satu analisi struktural paling mengesankan yang pernah dilakukan oleh sejarawan adalah  studi tentang karya sejarawan lain yakni esai Francis Hartog tentang Herodotus.
Peran psikologi agak marjinal dalam pembahan buku in. Alasannya terlatak pada relasi antara psikologi dan sejarah. Di Amerika tahun 1950 ada pendekatan baru yang mengasyikan psikosejarah kajianya tentang Luther Muda yang dilakukan analisi kejiawaan Erik Erikson menimbulkan perdebatan hangat. Teori psikologi bisa bermanfaat bagi para sejarawan paling tidak melalui tiga cara. Pertama, sejarwan terbebas dari asumsi yang hanya berdasarkan akal sehat tentan sifat manusi, asumsi-asumsi sebenaranya menjadi kuat karena tidak diakui, jika bukan disadari, ketepatanya maknanya dengan asumsi fruedian. Kedua , teori psikologiwan memberikan sumbangan terhadap proses kritik sumber. Agar buku harian dapat digunakn secara tepat sebagai sumber bukti sejarah. Sejarawan lisan juga mulai memikirkan adanya unsur fantasi dalam keterang lisan yang mendasarkan fantasi. Ketiga  adanya sumbangan para psikologiwan dalam perdebatan mengenai hubungan antara individu dan masyarakat. Sebagai contoh, psikologiwan  telah memberi perhatian pada psikologi pengikut di samping psikologi pemimpin misal kebutuhan figur seorang ayah. Sumbangan lain psikologiwan daalm membantu mendefinisikan ulang hubungan antara individu dan masyarakat adalah pola pemeliharaan anak pada berbagai kebudayaan.
 Istilah kebudayaan semakin luas karena semakinluasnyan perhatian sejawaran dan ilmua lain. Perhatian semakin banyak dicurahkan kepada budaya populer yakni sikap-sikap dan nilai-nilai masyarakat awam serta pengungkapannya ke dalam kesenian  rajyat, lagu rakyat, cerita rakyat, festival rakyat dll. Studi mengenai perubahan menyangnkut tentang tranmisi/ tardisi atau reproduksi budaya. Istilah ini mengacu kepada kecenderungan masyrakata pada umumunya dan sistem pendidikan pada khususnya untuk meproduksi diri melalui  penanaman nilai nilai masa lalu kepada generasi muda. Konsep reproduksi budaya itu berguna untuk menarik perhatian terhadap upaya yang dikerahkan untuk meneliti di lapangan, dengan kata lain meneliti dan membiarkan masyarakat kurang lebih sebagaimana adanya.

Bab 5 Teori Sosial dan Perubahan Sosial
Konsepsi tentang perubahan sacara tidak langsung terkait dengan konsepsi kontinuitas. Selama ini kontinuitas digambarkan hal yang negatif. Sebagai contoh kepedulian Elias terhadap adab makan menyiratkan pentingnya melatih anak sebagai bagian dari peradapan. Mengajari anak penting artinya bagi terciptanya reproduksi kultural dan mungkin saran perubahn yang efektf, ini merupak gambaran yang lebih pasitif. Campur tang dari luar ini tampa jelas pada kasus-kasus yang dibahas Wachtel dan Sahlins. Akan tetapi, sebagaiman telah kita liah penjelasan mereka tentan perubahan di Peru dan Hawaii tidak hanya dari perspektif eksterna saj. Sebaliknya kedua penulis menekankan hubungan atau kesesuain antara faktor dalam (endogen) dan faktor luar (eksogen), sama dengan teori resepsi. Kita harap model-model sosial mendatang  akan membahas juga faktor-faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat terbuka terhadap pengaruh luar, sedangkan sebagian bertahan dari pengeruh tersebut. Hubungan  antara kejadian dan struktur telah disorot dalam teori sosial masa kini, terutama dalm bahasa Anthony Giddens tentang struktursi. Fungsi-fungsi destruktif dan kreatif kejadian lebih ditekankan dala sebuah kajian tentang petani pada mesa Revolusi Perancis, Le Roy Ladurie menyebutkan kemungkinan terjadinya peristiwa hanya sebagai katalis atau matriks peristiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar