Minggu, 06 Februari 2011

tangan penguasa di bangku sekolah

Tangan Penguasa di Bangku Sekolah

Pada jaman kolonial pendidikan hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro tidak diragukan mutunya. Sungguhpun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat 3 tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah menghasilkan pemimpin masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan nasional.

Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa. Dalam sejarah pendidikan kita dapat katakana bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa. Oleh sebab itu di dalam Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikaan nasional untuk rakyat, untuk semua bangsa. Pendidikan masa kolonial memang bertujuan untuk melaksanakn politik etis akan tetapi dari segi kualitas patut di perhitungkan karena berhasil “meluluskan” Faouding Father bangsa Indonesia seperti Soekarno,Moch Hatta, Sahril dan lain-lain. Saya (penulis) pernah belajar bahasa Belanda ke seoarang banagawan masa kalonial saya biasanya memanggil Mevrou Ayu atau nyonya Ayu mungkin sekarang berumur 80an beliau bercerita bahawa saat beliau sekolah mereka di ajarkan dengan sistem Belanda yang disiplin dan tertata. Selain itu pendidikan moral juga di tekan pada masa colonial sehingga membetuk pribadi-pribadi yang disiplin dan berintergeritas tinggi.

B. Era Orde Lama

Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan

Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama.

Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.

Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada suatu pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan.

Dalam era pembangunan nasional selama lima REPELITA yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari TRILOGI pembangunan. Maka kemerosotan pendidikan nasional telah berlangsung. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya.

Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun.

Melihat contoh di atas bagaimana peran pemerintah dalam pendidikan yang muaranya kepada pembentukan jatidiri bangsa Indonesia, tentu kita tidak akan memungkiri lulusan luar negeri yang mengeyam kualitas pendidikan yang berbeda dengan lulusan dalam negeri. Disini peran pemerintah sangat penting karena para lulusan luar negeri atau dalam negeri yang akan membangun bangsa Indonesia. Pemerintah juga jangan terlalu intervensi dalam pendidikan missal menanamkan hanya satu doktrin dalam pendidikan yang pada akhirnya mematikan kreativitas dunia pendidikan, contoh sederhana yang beberapa tahun terakir menajadi bahan perbincangan di kalangan pendidikan nasional Indonesia yaitu tentang kurikulum sejarah yang mencantumkan kata-kata G30 S tanpa mencantumkan kata PKI hal ini sangat mengekan kebebasan dalam dinia pendidikan yana seharusnya diketahui siswa agar mencari kebenaran yang sebenarnya tanpa campur tangan pemerintah. Hal ini seakan pemerintah mengajarkan kepada generasi selanjutnya untuk mendendam dan membenci kesalahan bangsanya sendiri tanpa ada untuk menyari kebenaran yang sebenarnya.

Di tingkatan yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi pemerintah menjalankan UU BHP (undang-undang badan hukum pendidikan) yaitu perguruan tinggi negeri di haruskan mempunyai usaha yang memungkinkan suatu PTN mendapatkan “penghasilan” di luar SPP dari mahasiswa. UU BHP sebenaranya baik akan dalam prakteknya perguruan tinggi melasanakan system kapitalis dengan dmencari keuntungan sebesar-besarnya dari mahasiswa. Sungguh ironi sistem pendidikan di Indonesia pemeritah yang seharusnya mempunyai kewajiban mencerdaskan Bangsa malah menjual kewajiban itu sendiri kepada penaguasa dunia yang bernama kapitalis. Perlahan namum pasti identitas bangsa Indonesia dengan Kerakyatan dan Gotong Royong akan punah dan di gantikan oleh Bangsa yang individual dikarenakan system pendidikan yang mengharuskanya. Mengutip salah satu judul buku sastra “Salah Asuhan”. Semoga pendidikan di masa yang akan datang di kelola oleh tangan yang perhatian pada rakyat kecil dan menjadikan Soekarno baru yang lebih nasionalis tanpa campur tangan bangsa lain dam menjadi bangsa yang mepunyai kepercayaan diri yang kuat.